Kamis, 08 Januari 2009

REFORMASI BIROKRASI

REFORMASI BIROKRASI
DAN AKUNTABILITAS MADRASAH

Oleh: Drs. H. Mgs. Nazarudin, MM
Kepala MA Paradigma Palembang


Abstrak: Posisi madrasah di tengah dinamika perkembangan pendidikan di Indonesia dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia sesungguhnya lebih dominan ketimbang sekolah umum lain. Madrasah tidak hanya menyiapkan generasi muda muslim sebagai generasi yang berilmu, terampil tetapi juga sekaligus beriman dan berakhlak mulia. Sementara indikator kualitas antara lain adalah adanya integrasi antara ilmu, iman dan amal. Apa yang disajikan di SMP atau SMA juga disajikan di M.Ts atau Madrasah Aliyah. Tetapi apa yang diberikan di M.Ts atau Madrasah Aliyah belum tentu disajikan di SMP atau SMA. Jadi madrasah sesungguhnya merupakan satu lembaga pendidikan yang kompleks. Persoalannya terletak pada keseriusan, baik manajemen madrasah atau pun jajaran birokrasi yang nota bene bertanggung jawab dalam ”ngurusin” madrasah. Tulisan ini membahas tanggung jawab madrasah dan pihak birokrasi dalam meningkatkan mutu baik out put (sumber daya manusia yang di didik di madrasah) maupun pengelolaan madrasahnya itu sendiri.

Kata Kunci: Birokrasi, Akuntabilitas Madrsah dan Kualitas Sumber Daya Manusia


Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa manusia adalah kekayaan bangsa yang sangat mahal. Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kualitas rata-rata warganya. Hal ini terbukti dari adanya banyak negara yang sekalipun miskin sumber daya alam, tetapi GNP-nya sangat tinggi, karena manusia-manusia di dalam negara tersebut berkualitas. Misalnya Korea Selatan yang pada tahun 1945 sama miskinnya dengan Indonesia, tetapi saat ini GNP-nya berlipat-lipat ganda dari GNP Indonesia; apalagi Jepang.
Soeharsono Saqir (1986:316) dalam hal ini menyatakan bahwa: “Terlepas dari pandangan hidup, latar belakang sejarahnya, maka banyak bangsa yang membuktikan diri dapat menjadi bangsa yang maju karena meningkatkan kualitas manusianya, meskipun mereka miskin dengan kekayaan alam”.
Keberhasilan dua negara karib dimaksud di atas paling tidak membuktikan bahwa kualitas manusialah yang menjadi kunci sukses kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, tepat sekali pendapat yang menyatakan bahwa manusia merupakan asset yang paling bernilai; itu jika manusianya prestatif. Jika tidak maka ia hanya akan menjadi beban bangsa.
Sumber daya manusia berkualitas muncul dari lembaga pendidikan yang berkualitas. Lembaga pendidikan yang berkualitas adalah lembaga pendidikan yang dikelola secara profesional dan dengan komitmen yang tinggi dari semua komponen pendidikan tersebut. Sukses Jepang sebagai negara industri maju terkemuka di dunia diakui oleh banyak pihak merupakan bukti nyata dari system pendidikannya yang unggul (John Vaizer, 1992:97).
Salah satu lembaga pendidikan yang diharapkan dapat menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas adalah madrasah. Karena tidak sedikit orang tua yang memilih madrasah sebagai lembaga pendidikan bagi anak-anak mereka. Menurut Firdaus (Direktur Pendidikan Madrasah Departemen Agama RI., 2006): “Hampir 20% dari 6 juta anak usia sekolah di negeri ini berada dalam (mengikuti) proses pendidikan di Madrasah”.
Untuk Provinsi Sumatera Selatan, menurut Ridwan (Kepala Bidang Madrasah dan Pendidikan Agama Islam, 2007), bahwa jumlah anak usia sekolah yang berada di madrasah pada tahun ajaran 2007/2008 adalah: 118.887 jiwa.



Tabel 1. Jumlah Siswa Madrasah se Sumatera Selatan, 2007/2008



Angka 118.887 merupakan jumlah yang relatif besar, dan di tangan madrasah masa depan mereka dipertaruhkan. Konsekuensinya, madrasah bertanggung jawab mengupayakan agar mereka menjadi manusia Indonesia yang cerdas, baik intelektual, spiritual maupun emosional. Harapan ini menjadi tidak rasionil manakala di sisi lain ditemukan bahwa madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam hingga hari ini masih menjadi “sekolah alternatif” yang dihitung tetapi tidak diperhitungkan, karena kualitas lulusan madrasah diyakini belum memiliki keunggulan kompetitif dengan sekolah formal lainnya.
Permasalahannya adalah bagaimana profil SDM berkualitas itu? Sejauhmana kesiapan madrasah dalam mencetak SDM berkualitas? Jawaban dari pertanyaan inilah yang ingin dibahas dalam makalah ini.
MAKNA KUALITAS
Kata kualitas dapat dipadankan dengan kata mutu. Kata kualitas dalam bahasa Indonesia merupakan alih bahasa dari bahasa Inggris: quality. (Untuk bahasan selanjutnya akan lebih sering digunakan kata “kualitas” dari pada kata “mutu”). Makna ini mengacu kepada derajad atau tingkat sesuatu produk atau layanan yang dihasilkan melalui suatu proses. Oleh karena itu mendiskusikan makna kualitas harus melihat dua dimensi yaitu proses dan produk.
Kualitas adalah puncak dari sebagian besar agenda kegiatan suatu lembaga dan peningkatan kualitas merupakan tugas utama setiap lembaga. Namun demikian, disamping pentingnya kualitas itu bagi lembaga, banyak orang berpendapat bahwa kualitas merupakan konsep yang rumit, tidak mudah didefinisikan, dan sulit diukur. Kualitas memiliki ciri multifaset dan multidimensi.
Hasil berbagai kajian menunjukkan bahwa makna kualitas itu mengalami evolusi. Dinamika evolusinya ditentukan oleh berbagai factor: intern dan ekstern. Menurut Waspodo (2003), paling tidak ada dua konsep kualitas yang sering muncul dalam diskusi akademik, yaitu kualitas sebagai konsep absolut dan konsep relatif. Sebagai konsep absolut, kualitas sama dengan hakiki kebaikan, keindahan, dan kebenaran. Ia adalah konsep ideal yang tidak dapat dikompromikan. Dalam konsep absolut ini sesuatu yang memperlihatkan berkualitas adalah yang memenuhi standar atau criteria tertinggi yang tidak dapat dilampauinya. Produk-produk berkualitas adalah sesuatu yang diproses secara sempurna yang tidak memperhitungkan biaya yang dibutuhkan untuk memproduksinya. Ia merupakan sesuatu yang berharga dan menunjukkan prestise, wibawa, gengsi atau martabat pemiliknya. Kelangkaan dan mahalnya harga barang itu merupakan dua ciri kualitas absolut ini.
Pfeffer dan Coote (dalam Siswoyo Haryono, 2005: 76), berpendapat bahwa makna kualitas absolut dapat ditamsilkan dalam ungkapan: “Sebagian besar orang menginginkan, akan tetapi hanya sedikit yang dapat memilikinya”.
Sebagai konsep relatif, kualitas bukanlah sebagai atribut dari produk dan servis atau layanan, tetapi sesuatu yang menggambarkan tentang kualitas. Sesuatu dapat dikatakan berkualitas bila produk atau layanan dapat memenuhi spesifikasi yang telah ditentukan untuk itu. Kualitas bukan akhir dari dirinya, akan tetapi alat yang digunakan untuk menetapkan berdasarkan atas standar yang ditetapkan. Kualitas produk atau pelayanan tidah harus mahal dan eksklusif. Merekan mungkin indah, tetapi tidak perlu harus begitu. Mereka tidak harus spesial atau khusus. Merekan mungkin biasa-biasa saja dan sangat akrab dengan kita. Mereka harus memenuhi standar sebagaimana ditentukan dan memenuhi harapan pelanggan yang mengharapkannya.
PROFIL SDM BERKUALITAS
Menurut Abraham Maslow (dalam Sirozi, 2004:136), sumber daya manusia berkualitas adalah sumber daya manusia yang mampu mengaktualisasikan diri, yaitu yang memimiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Dapat menerima dirinya, orang lain, dan lingkungan sekitar.
2. Berpandangan realistic
3. Tidak bersikap pasrah (pasif)
4. Berorientasi pada problem-problem eksternal, bukan pada dirinya.
5. Mengapresiasi kebebasan dan kebutuhan akan spesialisasi.
6. Berkepribadian independen dan bebas dari pengaruh orang lain.
7. Mengapresiasi segala sesuatu secara progresif, tidak terjebak pada pola-pola baku.
8. Integratif dan akomodatif terhadap semua kalangan.
9. Hubungan dengan orang lain sangat kuat dan mendalam, bukan sekedar formalitas.
10. Arah dan norma demokratisnya diliputi oleh sikap toleran dan sensitivitasnya.
11. Tidak mencampuradukkan antara sarana dan tujuan.
12. Gemar mencipta, berkreasi, dan menemukan penemuan-penemuan dalam skala besar.
13. Menentang ketaatan dan kepatuhan buta terhadap budaya.
14. Berjiwa riang secara filosofi, tidak bermusuhan.
Adapun Karel Rogerz (dalam Sony G, 1973: 13-14), menjelaskan sumber daya manusia berkualitas adalah yang memiliki kepribadian seimbang, yaitu:
1. Bersikap terbuka, menerima berbagai pengalaman, dan berusaha memahami perasaan-perasaan internalnya.
2. Hidup secara eksistensialistik, yakni memiliki kepuasan batin bahwa tiap saat ia menginginkan pengalaman baru. Ini berarti memiliki perasaan internal bahwa ia bergerak dan tumbuh.
3. Dalam struktur keanggotanya, ia menemukan hal yang dipercaya untuk mencapai tingkah laku yang paling banyak memberikan kepuasan dalam tiap kondisi nyata. Ia melakukan apa yang dirasakannya benar dalam konteks kekinian. Ia berpegang pada pembentukan totalitas dan komprehensif pada dirinya untuk mengarahkan tingkah laku sesuai pengalaman.
Sedangkan Erich Fromm (dalam Mursi 1997:47-49) mengidentifikasi kualitas melalui lima jenis kepribadian.
1. Kepribadian pasrah dan pasif
2. Kepribadian verted intrest
3. Kepribadian posesif
4. Kepribadian berorientasi pasar
5. Kepribadian produktif
Lima jenis kepribadian ini akan dijelaskan secara garis besar dalam uraian berikut ini:
1) Kepribadian pasrah dan pasif
Pemilik kepribadian ini yakin bahwa apapun yang diinginkannya harus tercapai tanpa usaha atau kegiatan untuk memperolehnya dan harus diperolehnya dengan cara pasif dan pasrah.
2) Kepribadian verted intrest
Pemilik kepribadian ini berusaha memperoleh segala sesuatu dari orang lain, baik dengan cara tipuan maupun kekerasan, dan menganggap semua orang sebagai sasaran baginya.
3) Kepribadian posesif
Pemilik kepribadian ini suka menyimpan segala sesuatu yang dia peroleh. Ketengan batinnya dan ketentraman hatinya tergantung pada simpanan dan tabungannya. Dia senantiasa melestarikan miliknya dan merasa bahwa membelanjakan sesuatu akan mengancam hidupnya. Biasanya dia kikir harta, pikiran dan perasaan. Baginya cinta adalah memiliki.
4) Kepribadian berorientasi pasar
Kepribadian ini menyerupai kepribadian penjual. Pemilik kepribadian ini merasa bahwa kepribadiannya dapat diperjualbelikan, dan terpengaruh oleh tuntutan eksternal yang berubah-ubah. Menurutnya orang yang sukses adalah yang bernilai jual.
5) Kepribadian produktif
Seseorang akan memiliki kepribadian produktif apabila dia mampu mengembangkan potensi. Dia mampu berpikir bebas dan kritis. Dia merasa, mengindra lingkungan sekitar dan mempengaruhinya, menghormati diri dan sahabat-sahabatnya, mengupayakan kelayakan-kelayakan hidup dengan prinsip keseimbangan, yakni tanpa depresi dan stress, serta menikmati pekerjaan alamiah dan seni.
TANGGUNG JAWAB MADRASAH
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa “Hampir 20% dari 6 juta anak usia sekolah di negeri ini berada dalam (mengikuti) proses pendidikan di Madrasah (Departemen Agama RI., 2006:1). Angka 20% tersebut adalah angka yang besar. Jika tidak dikelola dengan baik oleh madrasah maka mereka hanya akan menjadi beban bangsa yang tidak jelas nasibnya karena tidak memiliki kompetensi yang relevan dengan zamannya. Mereka hanya dihitung tetapi tidak tidak diperhitungkan. Oleh karena itu madrasah diharapkan dapat ditata, dikembangkan secara professional (jangan asal jalan). Harapan ini ditujukan kepada semua pihak yang terlibat dengan eksistensi madrasah, tidak hanya kepala madrasah atau guru-guru tetapi termasuk para pejabat Departemen Agama dari Pusat hingga Kandepag Kota/Kabupaten.
Langkah-langkah yang perlu segera direalisasikan oleh madrasah dalam kaitannya dengan peningkatan mutu madrsah yang dibuktikan dengan out put yang berkualitas adalah sebagai berikut:
1. Akuntabilitas Proses
Untuk meningkatkan mutu madrasah, maka upaya yang paling efektif dengan cara peningkatan akuntabilitas proses pendidikannya. Akuntabilitas proses diharapkan benar-benar mampu menjamin madrasah yang dapat menjaga dan meningkatkan mutunya secara progresif dan terus menerus. Mutu disini tidak hanya menyangkut masalah isi saja, melainkan juga kesesuaian metodologi pembelajaran.
2. Profesionalisme
Profesionalisme merupakan aspek penting lainya untuk menentukan kualitas pendidikan. Selama ini di madrasah belum sepenuhnya menempatkan para professional secara memadai untuk menunjang kegiatannya. Dengan kata lain bahwa para personil madrasah yang professional merupakan tumpuan keberhasilan suatu system yang berkualitas.
3. Meningkatkan Anggaran Biaya
Berkenaan dengan pembiayaan madrasah, maka perlu upaya sistimatis dan terprogram untuk memperjuangkan anggaran pendidikan lebih besar dari keadaan sekarang, sehingga pos-pos pengeluaran untuk kepentingan peningkatan mutu madrasah dapat terpenuhi secara baik, seperti pengadaan sarana dan prasarana madrasah yang sampai saat ini masih belum memenuhi harapan. Pemerataan dan keadilan dalam alokasi anggaran pendidikan diharapkan mampu mendorong pemerataan dalam mutu dan efisiensi pendidikan.
Selain dana-dana pemerintah, madrasah sudah harus memikirkan untuk memiliki sumber dana mandiri permanent. Artinya, madrasah sudah harus memiliki unit-unit usaha yang dikelola dari dan untuk masyarakat madrasah itu sendiri. Omset bulanan dari unit-unit usaha ini tidak mustahil bisa melebihi jumlah bantuan yang selama ini disubsidi oleh pemerintah, seperti halnya yang telah dilakukan oleh Madrasah Tsanawiyah (M.Ts) Pembina Jakarta, Madrasah Tsanawiyah (M.Ts) Negeri 2 Malang atau Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 3 Malang dan masih banyak lagi sekolah atau madrasah yang mampu survive dengan sumber dana mandiri dan permanent dalam arti tidak sepenuhnya menggantung harapan pada bantuan pemerintah.
4. Meningkatkan Peranserta Masyarakat
Menyadari akan pentingnya peranserta masyarakat dalm peningkatan mutu madrasah, maka peranserta masyarakat haruslah dimaknai secara luas, yang tidak hanya memberikan kontribusi secara financial yang sebanyak-banyaknya bagi kepentingan madrasah seperti yang dilakukan Komite Madrasah atau BP3 selama ini, namun juga sama pentingnya yaitu keterlibatan masyarakat dalam memerankan dirinya sebagai pengendali kualitas madrasah.
5. Evaluasi Diri
Istilah evaluasi diri saat ini dipakai pada perguruan tinggi untuk mengukur kemajuan dan apa yang telah dicapai dan aspek-aspek lainnya yang perlu diperbaiki. Evaluasi diri ini merupakan keadaan dimana kita dapat melihat tingkat keberhasilan proses pendidikan yang berlangsung serta kelemahannya sehingga dapat segera diperbaiki.
KESERIUSAN BIROKRASI
Meningkatkan kualitas out put – proses – input tidak dapat hanya dibebankan kepada pihak madrasah (Kepala madrasah, guru, pegawai atau orang tua siswa). Pihak-pihak terkait seperti para pejabat Departemen Agama dari Pusat hingga Kandepag Kota/Kabupaten harus memiliki visi dan misi yang sama, komitmen (keseriusan yang tinggi) dalam mewujudkan madrasah yang bermutu. Keseriusan ini dapat dibuktikan melalui:
1. Sistem rekrutmen pegawai dan guru yang bersih (bebas KKN),
Guru sebagai bagian dari kerangka system pendidikan dituntut untuk selalu mengembangkan keterampilan mengajar yang sesuai dengan kemajuan zaman dan lingkungan lokal dimana proses pendidikan itu dilaksanakan. Jika guru bersikap statis (merasa cukup dengan apa yang sudah ada) maka proses pendidikan itu pun akan statis bahkan mundur. Oleh karena posisi guru yang demikian itulah maka para ahli, antara lain Muhammad Ali (1996, hlm. 4), menyatakan bahwa “guru adalah komponen pendidikan yang memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar”. Bahkan Mukhtar Buchori (dalam Abudin Nata, 2001, hlm. 245) menyatakan bahwa “yang dapat memperbaiki situasi pendidikan pada akhirnya berpulang kepada guru yang sehari-hari bekerja di lapangan”.
Demikian peranan penting guru dalam kerangka system pendidikan yang menentukan bagi berhasil atau gagalnya suatu proses pendidikan. Oleh karena itu, kehadiran seorang guru haruslah seorang yang memang professional dalam arti memiliki keterampilan dasar mengajar yang baik, memahami atau menguasai bahan dan memiliki loyalitas terhadap tugasnya sebagai guru. Tetapi justru disinilah problematika yang dihadapi oleh dunia pendidikan di Sumatera Selatan, dimana lebih dari 60% guru memiliki predikat under kualifide. Keadaan ini mungkin akibat dari sistem rekrutmen guru dan pegawai yang kurang baik yang pernah terjadi di Sumatera Selatan.
Sebagaimana dimaklumi, dahulu kala dan ini bukan rahasia lagi bahwa untuk lulus menjadi PNS harus memilik IP yang tinggi. Namun sayangnya IP tersebut bukan Indeks Prestasi tetapi Inpestasi Pribadi (Kekayaan). Ada juga yang mengatakan IP = Itu Keponakannya (di Palembang IP = Kakak atau adik ipar). Departemen Agama harus bersih dari permainan ini. Banyak guru honor yang berpengalaman dan kompeten terpaksa sampai tua menjadi guru honor atau GTT karena mempertahankan integritas pribadi/idealisme dan atau secara financial tidak mampu bersaing. Banyak juga diantara mereka yang takut masuk neraka sebab mereka pernah menerima pelajaran bahwa yang nyogok dan yang disogok sama-sama masuk neraka. Lebih ironis lagi mereka yang honor di swasta. Jika sudah lewat dari 35 tahun maka mereka dengan sangat menyesal tidak diperkenankan lagi untuk menjadi kontestan. Untuk mereka yang berusia di atas 35 tahun boleh mengikuti tes dengan syarat memiliki surat magang negeri (Wiyatabhakti yang ditandatangani pejabat negeri). Sedangkan peluang untuk honor di negeri sangat terbatas.
Sesungguhnya, guru-guru honor swasta tidak kalah kualifidenya dengan guru-guru yang honor di negeri. Dan apakah mengajar di swasta tidak termasuk sebagai suatu pengabdian pada Negara, padahal yang mendidik dan yang dididik sama-sama anak bangsa. Contoh-contoh kasus di atas semoga tidak akan pernah terjadi lagi.
2. Penyeleksian dan pengangkatan kepala madrasah secara objektif
Untuk menjadi kepala madrasah harus lulus Tes Potensi Akademik (TPA) dan Diklat Kepala Madrasah, itu kebijakan yang cantik dan perlu didukung Tetapi peluang untuk berkolusi atau pun nepotisme (Nepotisme kedaerahan, nepotisme karena satu organisasi) masih tetap terbuka lebar.. Jika Departemen Agama dalam hal ini Kandepag Kota/Kabupaten dan Kanwil serius dalam mengelola madrasah dan betul-betul ingin melihat madrasah sebagai lembaga pendidikan yang bermutu maka penyeleksian dan pengangkatan kepala madrasah harus bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Sebelum pengangkatan terlebih dahulu harus ada pemberhentian. Dalam proses permberhentian ini yang namanya KKN tetap saja dapat dikembangkan. Kepala Madrasah yang “dekat” (Dekat dalam makna lahir dan batin: Dekat rumah, teman dekat, pen-dekat-an, dll) dengan pejabat yang berwenang akan tetap selamat dari pencopotan meski segudang kesalahan ia meiliki. Mudah-mudahan kasus-kasus seperti ini sudah tidak ada lagi karena masing-masing pihak telah memiliki komitmen yang kuat untuk mewujudkan madrasah yang berkualitas. Jika masih terjadi berarti upaya mewujudkan madrasah yang berkualitas masih separuh hati.
3. Penempatan pegawai (Kabid/Kasi) yang sesuai dengan latar belakang pendidikan
Seorang pegawai dengan latar belakang pendidikan S.1 Fakultas Syari’ah dan sedetikpun tidak pernah berdiri di depan kelas rasaya tidak tepat jika diletakkan di Bidang Mapenda (Madrasah dan Pendidikan Agama), apalagi sebagai Kepala Seksi Kurikulum atau Kepala Seksi Evaluasi Supervisi. Jadi, tempatkanlah seseorang pada posisi yang sesuai dengan bidang keahliannya.
4. Pembinaan SDM dalam bentuk penataran atau pelatihan yang profesional
Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, dalam hal ini guru atau pegawai adalah dengan menyelenggarakan workshop, pelatihan atau penataran. Dari kegiatan seperti ini diharapkan guru dan pegawai menjadi lebih kualifide dan akhirnya berdampak pada peningkatan mutu pelayanan pendidikan di Madrasah. Kegiatan-kegiatan ini (workshop, pelatihan atau penataran) setiap tahun sudah diselenggarakan dalam frekuensi yang sangat padat. Biasanya dari bulan Mei hingga Oktober Bidang Mapenda Kanwil Departemen Agama Provinsi Sumatera Selatan disibukkan oleh kegiatan-kegiatan seperti itu.
Ada beberapa kelemahan yang dijumpai di dalam kegiatan dimaksud di atas. Pertama: Kegiatan itu jarang sekali (atau mungkin tidak pernah) di monitoring dan evaluasi, sehingga tidak jelas pengaruhnya terhadap peningkatan kualitas guru dan pegawai. Kedua: Kegiatan tersebut biasanya dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya, terutama dalam hal jadwal kegiatan. Di kalangan peserta pelatihan hal semacam itu dikenal dengan istilah “jamak qoshor”.
Istilah jamak qoshor, ternyata tidak hanya ada dalam terminology ibadah dalam Islam (shalat) tetapi ada juga pada kegiatan-kegiatan seperti pelatihan dan penataran. Pelatihan angkatan 1 dan 2 digabung dalam satu ruang dengan jumlah hari yang seharusnya 10 menjadi 7 bahkan 5, itulah jamak qoshor dalam pelatihan. Berapa banyak dana yang tersimpan (untuk tidak mengatakan menguap) dari pelatihan yang jamak qoshor ini. Kemana dan dimanfaatkan untuk apa dana sisa tersebut? Wallahu a’lam bishowab. Jika ini yang terjadi, maka selogan meningkatkan kualitas madrasah baik dalam iptek maupun imtak tak lebih dari omong kosong belaka.
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa SDM berkualitas itu adalah SDM yang mampu membaca potensi diri, orang lain dan lingkungan sekitar kemudian mengaktualisasikannya dan mengambil hal-hal yang positif dalam kehidupannya. Sifat-sifat yang melekat padanya antara lain: cekatan, informatif (menerima hal-hal baru) dan inisiatif (tidak menunggu tetapi mengejar, tidak diam tetapi melakukan sesuatu), kreatif (memiliki banyak gagasan dan mampu menuangkannya dalam bentuk lisan, tulisan dan perbuatan), ulet (tidak mudah menyerah) serta mampu menggunakan sarana yang ada. Hanya saja profil SDM berkualitas ini relatif mengabaikan aspek-aspek ruhaniah. Padahal faktor ruh merupakan elemen inti dari kepribadian manusia.
Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam diharapkan dapat mewujudkan SDM berkualitas yang utuh baik dari aspek jasmani maupun ruhani. Sehingga tamatan madrasah itu tidak hanya cerdas inlektual, tetapi juga cerdas spiritual dan emosional selain memiliki juga kekuatan-kekuatan lainnya yang bersifat fisik. Untuk itu, Kanwil Departemen Agama Provinsi Sumatera Selatan dan atau Bidang Mapenda perlu melakukan langkah-langkah strategis antara lain: Sistem rekrutmen dan atau mutasi pegawai dan guru yang bersih (bebas KKN), Penyeleksian dan pengangkatan kepala madrasah secara objektif, Penempatan pegawai (misalnya di level Kepala Seksi) yang kompeten dan sesuai dengan latar belakang pendidikan, Pembinaan SDM dalam bentuk penataran atau pelatihan yang professional.




DAFTAR PUSTAKA

Abdul Hamid Mursi, SDM Yang Produktif; Pendekatan al-Qur’an dan Sains, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.

E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional; Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2008.

Martinis Yamin, Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia, Jakarta, Gaung Persada Press, 2006.

Muhammad Sirozi, Agenda Starategis Pendidikan Islam, AK Group Yogyakarta, 2004.

Vincen Gasversz, Metode Analisis Untuk Peningkatan Kualitas, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2001.

Siswoyo Haryono, Manajemen Sumber Daya Manusia, Tridinanti Press, Palembang, 2005.

Soeharsono Saqir dalam AW Wijaya, Manusia Indonesia; Individu Keluarta dan Masyarakat, Penerbit Akademika, Jakarta, 1986.

Waspodo, Prospek Total Quality Management di Era Otonomi Pendidikan, Makalah Workshop Manajemen Kepala Madraah, Palembang, Kanwil Dep. Agama Propinsi Sumatera Selatan, 2003.

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar